Bab 8
Selena melihat ke arah bawah. Sungguh mengejutkan, alamat yang tertulis di kertas putih itu adalah sebuah lokasi pemakaman.
Mungkinkah adik perempuan Harvey sudah meninggal? Namun, apa hubungannya kematian adik perempuan Harvey dengan ayahnya Selena? Selena mengenal Arya dengan baik, Arya tidak akan pernah menyakiti seorang gadis kecil.
Mengetahui bahwa kedua orang itu tidak akan mengungkapkan apa-apa lagi, Selena pun tidak terus mempersulit keduanya. Suasana selama perjalanan pun menjadi hening sampai akhirnya mereka tiba di kediaman Keluarga Irwin.
Perasaan Selena bercampur aduk begitu kembali ke tempat yang sudah sangat familier dengan dirinya ini. Chandra dengan sopan bertanya, “Apakah Nyonya ingin turun?” “Tidak perlu, aku akan menunggunya di sini.”
Proses perceraian ini adalah pertemuan terakhir antara dirinya dengan Harvey. Dia tidak ingin menambah masalah lagi. Apalagi setiap hal yang ada di sini membawa kenangan bagi mereka berdua. Dia tidak ingin terbawa perasaan lagi saat melihat pemandangan di depannya.
Yang harus disalahkan adalah Harvey yang dulunya pernah memanjakan dirinya dan takut kehilangan dirinya. Sekalipun sekarang Harvey bersikap semakin dingin kepadanya, Selena tetap mengingat kebaikannya.
Jelas-jelas Harvey-lah yang seharusnya menjadi orang yang paling dibenci olehnya, tetapi dia tidak pernah tega untuk membenci pria itu.
Mesin mobil tetap hidup untuk terus menghangatkan tubuh Selena. Hanya Selena seorang diri di dalam mobil. Lambungnya kembali terasa sakit. Tubuhnya pun meringkuk, seperti udang kecil yang memeluk lututnya dengan erat, berjongkok di atas kursi mobil sambil menunggu langit menjadi semakin terang.
Malam hari datang lebih awal di musim dingin, sedangkan pagi hari tiba lebih lambat. Langit terlihat belum begitu terang dan masih berkabut pada pukul tujuh pagi.
Tampak daun-daun pohon gingko yang ada di halaman sudah berguguran. Pikiran Selena pun melayang ke masa lalu.
Pada saat musim buah berwarna emas ini berbuah, Selena ingin makan sup ayam dengan biji teratai dan gingko. Harvey pun memanjat pohon gingko setinggi lebih dari sepuluh meter, lalu memetikkan buahnya untuk Selena.Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.
Daun-daun hijau terlihat berguguran, seakan-akan ini adalah hujan berwarna emas bagi Selena.
Pada saat itu, Harvey adalah orang yang ramah dan mudah bergaul dengan orang. Dia jago memasak dan sangat memanjakan Selena.
Sambil memikirkan hal itu, Selena sampai tidak sadar kalau dia sudah berjalan mendekat ke pohon itu sendirian. Meski pohon gingko itu masih ada di sana, tetapi semuanya sudah tidak sama lagi.
Daun-daun pada pohon itu sudah rontok sejak lama. Hanya tersisa beberapa daun layu yang belum rontok di ranting pohon. Sama seperti hubungannya dengan Harvey yang sedang berada di ujung tanduk.
Ketika berjalan keluar dari vila, Harvey pun melihat momen ini.
Gadis muda dengan sweater tipis berdiri di bawah pohon dengan kepala yang mendongak ke atas. Angin yang dingin meniup rambutnya.
Cuaca pada hari ini tidak seburuk cuaca pada beberapa hari sebelumnya. Sinar matahari pertama di pagi hari menyinari wajah Selena. Kulitnya yang putih hampir terlihat transparan, seperti seorang dewi yang akan menghilang.
Telapak tangan Selena masih terbungkus kain kasa. Anehnya, dia masih mengenakan pakaian yang dipakainya tadi malam. Wajahnya pun terlihat pucat.
“Harvey.” Selena tidak menoleh, tetapi dia tahu orang yang datang itu adalah Harvey. “Hmm.”
Selena perlahan berbalik badan, tatapannya tertuju pada pria jangkung itu. Jelas-jelas mereka berdua sangat dekat satu sama lain, tetapi entah sejak kapan mereka mulai menjauh.
“Aku ingin minum sup ayam dengan biji teratai dan gingko buatanmu sekali lagi.”
Di dalam mata Harvey yang gelap itu tampak ada kebingungan. Sesaat kemudian, dia berkata dengan dingin, “Selena, musim buah gingko sudah lewat, jangan buang waktumu lagi.”
Dengan matanya yang sedikit memerah, Selena pun bergumam, “Anggap saja ini untuk memenuhi permintaanku yang terakhir sebelum bercerai. Apakah kamu tidak bisa melakukannya?”
Setelah tidak bertemu dengannya selama tiga bulan, Selena sepertinya telah banyak berubah.
Harvey memalingkan wajahnya ke arah pohon yang gundul itu. Terdengar nada bicaranya sudah tidak terlalu dingin, “Buah yang dibekukan sejak tahun lalu sudah tidak segar lagi. Jika kamu ingin makan, tunggu saja sampai pohon itu berbuah di tahun depan.”
Tahun depan ...
Jari-jari Selena meraba kulit pohon yang kasar, dia takut tidak bisa bertahan selama itu.
“Harvey, apakah kamu sangat membenciku?” tanya Selena.
“Hmm.”
Selena menoleh ke arah Harvey dan berkata dengan lembut, “Kalau begitu ... aoakah kamu akan senang jika aku mati?” Duarrr ...
Kata-kata Selena seperti guntur yang menghantam hati Harvey. Harvey merasa kepalanya dipenuhi dengan suara bergemuruh yang menyebabkan dia kehilangan akal sehatnya selama beberapa saat.
Beberapa saat kemudian, barulah dia kembali sadar dan berkata dengan dingin, “Cuma masak sup, ‘kan? Ayo masuk.” Sambil melihat Harvey berjalan menjauh, Selena sedikit tersenyum. “Harvey, kamu takut aku mati, ‘kan?” pikirnya.
Di dalam benak Selena, muncul ide untuk membalas dendam. Dia tiba-tiba memikirkan bagaimana ekspresi Harvey jika mengetahui kematian dirinya suatu hari nanti.
Senang atau sedih?
Di dalam lemari es ada buah gingko yang sebelumnya telah disimpan. Harvey dengan cekatan mengeluarkan bahan-bahan makanan dan mencairkan esnya.
Saat melihat Harvey sedang sibuk, yang tersisa di dalam Selena hanya kepahitan yang tak ada habisnya. Ini mungkin terakhir kali Harvey memasak untuknya.
“Bagus juga,” pikir Selena. “Anggap saja sebagai sebuah kenang-kenangan.” Selena sedang memanggang ubi jalar di depan perapian. Aroma ubi jalar itu menyeruak ke mana-mana.
Dahulu, dia selalu berjongkok di sini untuk memanggang ubi jalar di musim dingin. Neneknya Harvey, yaitu Ella, akan bergegas datang begitu mencium aromanya. Ella sangat baik pada dirinya, bahkan memperlakukan Selena seperti cucu kandung sendiri.
Sayangnya, Ella juga telah meninggal dua tahun yang lalu. Suami Ella yang tidak ingin terus larut dalam kesedihan pun pindah ke luar negeri.
Rumah besar yang nyaman itu terasa dingin dan sunyi. Namun, ubi jalarnya masih tetap terasa manis dan wangi. Selena merasa tidak bersemangat karena tidak ada lagi sosok Ella yang berebut ubi jalar dengan dirinya.
Setelah makan ubi jalar panggang dan minum secangkir air hangat, rasa sakit di perut Selena pun terasa sedikit berkurang.
Saat tercium aroma wangi dari dapur, Selena bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke dapur. Dia melihat Harvey memasukkan sup ke dalam termos, kemudian menyendoknya lagi ke dalam mangkuk.
Selena yang dulu sangat dimanja oleh Harvey, sekarang sudah bukan lagi satu-satunya wanita yang disayangi oleh pria itu. Selena telah dibutakan oleh kebaikan Harvey di masa lalu, hingga tidak mau mengakui kenyataan.
“Supnya sudah matang,” ujar Harvey yang tidak menyadari kalau Selena sedang merasa putus asa.
“Terima kasih.”
Selena menatap semangkuk sup yang mengeluarkan aroma wangi. Masih seperti dulu, sangat wangi, terlinat lezat, dan menggugah selera. Namun, Selena tidak bernafsu lagi untuk makan saat ini.
“Sudah waktunya kita pergi ke Kantor Catatan Sipil.”
Terlihat sedikit kemarahan terpampang di alis menawan yang dimiliki oleh Harvey. “Kamu tidak mau minum supnya dulu?” tanya Harvey.
“Tidak.” Dulu Selena sangat egois, Harvey selalu dengan sabar membujuknya.
Sekarang Harvey hanya menatap Selena dengan lekat, lalu menuangkan semua sup yang dipegangnya ke tempat cuci piring. Setelah itu, dia berjalan melewati Selena tanpa ekspresi sambil berkata, “Ayo pergi.”
Harvey menyerahkan kotak makan tahan panas kepada Chandra sambil berkata, “Antarkan ini ke Perumahan Kenali.” “Baik, Pak Harvey.”
Selena saat itu baru sadar bahwa hubungan mereka sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Kegigihannya sepanjang tahun ini hanyalah sebuah kekonyolan.
Selena berjalan cepat menuju mobil. Begitu dia melewati pohon gingko, angin dingin bertiup semilir. Daun terakhir yang awalnya bergantung pada pohon dan menolak meninggalkan pohonnya, akhirnya diam-diam rontok juga.
Selena mengulurkan tangannya untuk menangkap daun yang sejak awal sudah mati itu, lalu berkata dengan pelan, “Apa lagi yang harus dipertahankan?”
Selena dengan santai membuang dan menginjak daun yang rapuh itu sampai hancur.
Pintu mobil tertutup. Meskipun di dalam mobil ada pemanas, mereka berdua yang duduk terpisah terlihat seperti dunia yang sedang mengalami hari kiamat. Aura dingin terus terpancar dari mereka berdua.
Jalan menuju Kantor Catatan Sipil sangat mulus. Tidak ada kemacetan di sepanjang jalan. Yang mereka temui hanya lampu hijau. Tuhan seolah-olah sedang membukakan jalan untuk perceraian mereka.
Mereka akan sampai di tujuan setelah berbelok di persimpangan berikutnya. Ponsel Harvey berdering, lalu terdengar suara cemas Agatha, “Harvey, demam Harvest masih belum turun. Awalnya aku tidak ingin mengganggumu, tetapi barusan demamnya sudah mencapai 39 derajat. Aku sangat takut, cepatlah kemari ...”
“Aku akan segera ke sana.”
Setelah menutup telepon, Harvey menatap sepasang mata Selena yang merah dan penuh kebencian itu. Selena bertanya dengan pelan, “Siapa nama anak itu?”